Monday, November 26, 2018

Antologi Hari Puisi Indonesia 2013-2017


Puisi Soni Farid Maulana
Hari Raya Puisi - Yayasan Puisi Indonesia 2018
Antologi Puisi Para Pemenang
Hari Puisi Indonesia 2013-2017


Soni Farid Maulana
Literatur Seorang Buruh Pabrik
di Tengah Gemuruh Kota Jakarta


Tuhan Yang Maha Pemurah, telah kuhayati
lembaran koran kuning di tengah gemuruh kota Jakarta;
memberikan seribu kemungkinkan kepadaku;
untuk bunuh diri, setelah berita, gerak beton dan baja
dan film dan video cassette semakin menggesitkan
pacarku jadi pelacur jalanan.

Kota terus mengusik benakku. Menumbuhkan pikiran
tanpa hati membentangkan keasinganku. Akan hidup.
Akan bahasa terpelihara warna pakaian; status
dan kehormatan menjelma kuburan tanpa kembang kabung.

Tuhan Yang Maha Bijaksana, sepanjang jalanku,
matahari berkobar pabrik-pabrik terus menderu,
tanpa hati memeras rasa gula dari tebu jiwaku. Lihat,
kengerian yang tumbuh dalam bola mataku
menjelma ribuan singa lapar, mengaum
sepanjang tanah perburuan hingga darah, dendam
dan dengki sakti; menggemerincingkan ajal,
warna yang tak pernah berubah rupa membungkus

sejarah moyangku. Aku tersedu. Aku seru keseimbangan
cakrawala. Suaraku terlindas radio bernyanyi. Terlindas
kemiskinan yang tetap menjadi warna hidupku. Kekayaan
terus merampokku, sampai rohaniku yang agung
oleh cinta pun; berontak, menggeserkan batu-batu yang diam
dan angkuh di dasar kali kehidupan.  Lautan bergelora
tanpa henti menghantam batu karang

1985


Soni Farid Maulana
Langgam Biasa

Telah kau tutup pintu dan jendela
kamarmu. Malam yang turun berudara buruk
dengarlah ringkik kuda itu;              
seperti hendak membekukan jantungmu!
Larut malam ini aku di sisimu
aku pandang wajahmu dengan hati bergetar
dan kau tersenyum seakan tahu
apa yang bergelora di dada. Ya, pelan dan lembut
kau dengar guguran daun di luar jendela.

Kita lahir sebagai dongengan

bisikmu. Malam larut dan sunyi

Kita semakin koyak oleh harapan purba, Abu1
Kelahiran kita hanya pantas jadi dongengan,
santapan nasib yang bengis.

Sayup tiang listrik dipukul orang.

Kekayaan kita adalah kemiskinan kita;
adalah rumah kita yang lembap oleh airmata.
Kita hanya pantas jadi dongengan

Salak anjing mengusap pendengaran
deru kereta memecah kesunyian
kata-kata menggumpal dalam dada. Beku
tak bersuara menyumpah matahari hitam
digilas ruang dan waktu negeri kelam

Kita hanya pantas jadi dongengan. Ya

1984-1986

1 Abu tokoh drama Arifin C. Noer dalam lakon Kapai-kapai 


Soni Farid Maulana
Gamelan Mati

Negeriku tempat matahari muncul dan terbenam
tempat kadal dan kerbau bermandikan lumpur sawah
ternoda darahku dipancong cangkul yang dendam.
Gemuruh mesin pabrik yang kau bangun di situ
melindas alu dan lesung di gudangku, membuat diriku
kehilangan jam kerja; sumber hidupku.

Negeriku tempat matahari muncul dan terbenam, mencat
hutan tropis; hutan yang habis dibakar kebuasan
kota besar; yang menggerogoti ampela kehidupan.
Sapi perahan bergoyang dengan dahsyat
seirama lecut peradaban. Seirama jam kerja
menyeret gerbong kapitalisme; hingga gedung-gedung
menggilas pekuburan. Dengar, kota yang buas

mencuri perawan di dasar malam, bikin bulan terluka
dan pingsan di jalan raya. Kini udara yang kau hirup
tak kukenal lagi aromanya. Tak kudengar lagi
jerit si miskin yang menyeruak dari timbunan sejarah
dibakar matahari, ditampar hujan, dilumat kegelapan;
berumah kesepian, dan keasingan metropolitan.

Kelam dan dalam. O, negeriku.

1986-1987


Soni Farid Maulana
Sebuah Potret Dunia Ketiga

Benar. Pemandangan di sini cukup mendebarkan
yang dulu menenangkan pikiran dan perasaan,
kini memusingkan kepala; bagai ulah
perempuan telanjang, menjemur diri di pantai. Kakinya
yang indah, sekali-kali dijilat ombak
di bawah matahari yang berkobar meludahi dunia
teramat tua berputar di atas punggung kerbau.

Haruskah aku mengucap selamat tinggal
pada laut dan garam yang lengket di tubuh mungil itu.
Pada neraka hijau yang berkilauan di teteknya yang gembur
aku temukan jiwaku yang bengkok seperti sekop butut,
tergolek di gudang tua yang pengap, kotor, dan berdebu.

Aku sapa burung-burung yang terbang
mencari pohon kehidupan.
Hutan yang datang hutan yang pergi
berubah warna dan rupa. Sungai bukan lagi
tempatku bercengkrama dengan ikan-ikan. Alirannya,
mengaduh pedih disilet limbah industri;
bagai jerit petani yang melelang dagangannya
dengan harga teramat murah tanpa perhitungan
biaya produksi di tengah-tengah 
arus zaman yang suram oleh esok hari.

Matahari terasa dingin dalam kalbuku,
aku menggigil dan beku oleh cuaca tropika
yang sari madunya dihisap habis
perempuan telanjang, berbaring di pantai,
menawarkan pesona dunia pertama. Menggoda
setiap kalbu yang dilimpahi cahaya Muhammad.
Kini dengan alifNya
yang merasuki akal sehatku: aku tentang
kehendak hitam perempuan telanjang yang buas
menatap alam hijau. Menelannya pelan-pelan.
O pesona dunia ketiga diam-diam hangus sudah
dibakar nyala api peradaban dunia pertama
yang liar dan bengis.

1987


Soni Farid Maulana 
Panorama Alam Benda

Aku biarkan pikiran warasku
mengembara di atas papan catur. Aku beri
bentuk kehidupan
pada bidak putih dan hitam. Keduanya bergerak,
begitu lincah dan gesit memasang jaring api.
keduanya dengan mata nyalang dan haus darah
menghunuskan pedang padaku
mengumumkan kekuasaan, mengukuhkan
undang-undang, menyeret dan menawanku
ke balik terali besi yang pengap, kotor dan berdebu.

Omonganku yang lembut bagai putih telor
menyingkap keadilan dan kebenaran.
Tapi sang raja yang menawanku
tak suka dengan semua itu;
padahal dulu keduanya aku bangkitkan
dari ketiadaan, lalu aku sumpah jadi penguasa
yang berlumur anggur dan madu,

dan kini di gelap malam aku renungkan perananku.
dalam puncak keheningan aku hayati nabi-nabi
yang dikejar dan dibunuh. Aku hayati
keindahan alam benda yang menguasai otak
dan hati manusia, sungguh menakutkan.

Dalam hening dengan keindahan puisi
aku ingin menyudahi
peranku yang absurd ini; tapi papan catur
yang aku pijak melebar jutaan kali.
Peran demi peran yang  aku hidupkan
ramai-ramai memburuku,
membantaiku; hingga desah napasnya
menggugurkan ribuan bintang pagi
di kalbuku

1987-1989


Soni Farid Maulana
Bintang Mati

Duduk di bangku kayu, menghayati
sorot matamu yang kelam oleh kabut dukacita.
Aku temukan bintang mati.
Bintang yang dulu berpijar dalam langit jiwaku
aku temukan kembali -- begitu hitam dan gosong
dan kau menjerit terpisah dari cintaku.

Dengarkan aku bicara, suaraku
bagai ketenangan air sungai bagai keheningan
batu-batu dasar kali melepas bau segar tumbuhan.
Bila hari kembang;
suaraku membangun kehidupan yang porak-poranda
oleh gempa peradaban. Ya, kutahu kota yang gemerlap
menyesatkan rohanimu dari jalanku.
Hanya ini yang bisa kuberikan kepadamu:
rasa gula terperas dari tebu jiwaku. Reguklah,
biar jiwamu berkilau kembali. O, bintang
yang dulu benderang dalam langit jiwaku.

1987-1989


Soni Farid Maulana
Sea Food Kaki Lima

Cumi-cumi goreng kecap manis di piringku
217 kilometer yang lalu masih hidup di kedalaman
laut biru. Maut memang tak bisa diduga:
menjaringnya. Tujuh nelayan lalu mengirim hasil  

tangkapannya, yang diperan dalam segentong es balok
ke kedai ini. Kini perutku jadi kuburan mewah
bagi seporsi cumi-cumi goreng kecap manis. Tak ada
ombak laut di situ, ganggang merah, udang, dan rajungan:

walau gelombang hasrat senantiasa berdebur dan berdebur
di batu karang hatiku, merindu dirimu. “Aku suka oseng
kangkung cumi-cumi,” katamu, suatu hari. Cuaca

malam berkarat hujan. “Tuan, mau tambah lagi
satu porsi?” tanya sang pelayan. Sayang, kau tak ada
di sampingku: selagi cumiku ingin bercumi-cumi
dengan cumimu yang merah jambon

2006


Soni Farid Maulana
Sop Buntut

“Tuan, di buncit perutmu apa ada
padang rumput?” sepasang sapi jantan
dan betina bertanya demikian kepadaku.
Hujan kembali membaca akar tubuhan
yang kering digarang kemarau. Kota disergap
demam ribuan buruh pabrik gulung tikar.

Sepasang sapi jantan dan betina membayang
di kuah sop buntut di restoran hotel bintang lima
yang sering dipajak para pecundang. Dan aku
terkejut. Mana mungkin di perutku yang buncit
ada padang rumput selain hijau padang golf?

Begitulah. Maut mengirim isyarat. Dunia
menggeliat dalam kobaran api hutan bakar.
Si miskin dipenggal begal di gelap malam
raungnya lenyap ditelan lembut alun musik jazz
di restoran hotel bintang lima. “Tuan apa ada
menu terakhir yang ingin Anda santap?”

2006


Soni Farid Maulana
Kuku Si Mati                
- untuk Heni Hendrayani

Di atas hamparan biru mekar bunga eceng gondok
ribuan piring terbang dikutuk peri hijau toska
menjadi kunang-kunang, sebab terlalu lancang terbang.
Kau tertawa ngakak mendengar kisah yang tak masuk akal ini.
“Ngaco,bukankah itu kuku si mati, yang menyeruak
dari rongga kuburan, mencari seiris Cahaya Maha Cahaya?”
demikian kau bilang.

Meninggi atau merendah di hamparan daun padi
dan eceng gondok yang bergoyang-goyang
dielus angin malam, kunang-kunang tamasya;
berkaca di atas permukaan kilau matamu. “Tidak,
itu bukan kuku si mati yang terbang dari rongga kuburan.
Itu wujud sukma kupu-kupuku yang tengah mencari
kilau tepung sari, tepung kalbumu,” aku bilang.

Dan kau diam sesaat, lalu menatap parasku
seperti menatap tamu asing yang singgah di rumahmu.
Di bawah bulan dan bintang jatuh, kunang-kunang terbang
lalu meninggi ke angkasa maha luas seiring bola matamu
terpejam lembut dalam pelukku. “Bawa aku terbang ke langit
maqamcintamu yang maha biru. Ke nikmat hidup kaum suci,”
bisikmu, lalu desir angin begitu nyata di hitam helai rambutmu
seharum cempaka. Seharum tanah sorga. Tanah sorga

2017


Soni Farid Maulana
Kucing Persia


Di Paris, dan itu pun hanya sekali,
aku ingat kamu. Lalu mengabur
seperti kabut yang bubar
disentuh cahaya matahari. Ya di Paris,
aku ingat kamu, itu pun hanya sekali
lalu mengabur dalam ingatan;
dihapus wajah yang lain, yang cantik,
manis,, bahkan imut-imut. Mereka
hilir mudik di trotoar pusat kota
seperti wajah kucing Persia atau Angora
yang dipelihara orang kaya di rumah mewah.
Dan ia sungguh bukan kucing kampung
walau bulunya bersih mulus
seperti jalinan kata-kata dalam sajak
Baudelaire atau Rimbaud, Rumi, dan Tu Fu
atau dalam sajak-sajak yang ditulis
kekasihku.

Sungguh di Paris, dan itu pun
hanya sekali saja, aku ingat kamu
ketika menatap Sungai Seine, yang
jaraknya sungguh dekat dengan Eiffel.
Lalu mengabur  dalam ingatan
seperti hamparan kabut
yang bubar disentuh cahaya
matahari.

2014


Soni Farid Maulana 
Tukang Daging

Pisau tipis itu ia tancapkan
pada sepaha daging sapi,
lalu ditariknya
ke bawah; menciptakan
sebuah sayatan
yang bila tajam pisau itu
menyayat pahaku

tak bisa aku bayangkan
serasa apa? Pisau itu
mengiris tipis daging sapi
yang aku beli. “Pagi ini kita
masak daging cingcang.
Jangan lupa santan kelapa,
daun salam, dan bumbu
lainnya,” kau bilang
pagi itu.

Hmm. Jejak pisau tipis itu
masih terbayang dalam benakku;
menyayat sepaha daging sapi;
lalu serasa apa bila pisau itu
menyayat tubuhku? Sungguh,
tak bisa aku bayangkan
rasa nyeri itu

2017
Share:
Continue Reading →

Friday, October 26, 2018

Lanskap


Lanskap


aku mendengar
nyanyian angin pagi
di tangkai pohonan

aku melihat cahaya sunyi matahari
berkilau lembut dalam bening embun pagi
yang bergayutan di punggung rumputan

aku mendengar salam itu,
salamNya, dilantunkan
kokok ayam jantan

negeri langit

1976



Share:
Continue Reading →

Saat Hujan Jatuh



sudah biasa
aku mendengar simfoni rindu
sehabis hujan
di halaman

memetik daun-daun
berdering dan pecah
di atas batu

esoknya adalah fajar
mengekalkan kicau burung
lalu sisa embun di dahan

berkemas, membumbung
ke dalam baris sajak-sajakku
yang sarat cinta
semekar mawarNya

1983

Share:
Continue Reading →